Kondisi Psikologis warga binaan perempuan di Lapas Wirogunan memprihatinkan. Selain mengaku bersedih dan ingin selalu menangis, mayoritas merasa tidak bahagia meski selalu dihibur keluarga dan teman. Berikut Laporan wartawan Harian Jogja, Abdul Hamied Razak.
Jumat (1/2) pagi di Lapas Wirogunan, tak seperti biasanya, seluruh warga binaan perempuan berkumpul di bangsal narapidana (napi) khusus wanita. Mereka duduk berjejer di atas lantai. Bebas, ada yang bersila, selonjoran, dan coba bersandar di tembok serta ranjang. Mereka lakukan hanya sekedar meringankan beban tubuh yang terasa berat.
Tatapan mata sejumlah warga binaan terlihat kosong. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Yang jelas, ekspresi murung, cemas, dan khawatir bercampur duka terlihat dari wajahnya. Apalagi, saat sejumlah wartawan mengambil gambar.
Mereka tampak gelisah dan merasa tak enak. Beberapa di antaranya tertunduk sambil menutup wajahnya dengan kipas dan tangan.
Di lapas tersebut memang tak ada pembedaan bagi warga binaan yang seluruhnya menyandang status sebagai ibu itu. Karena pelanggaran hukumlah, mereka harus berpisah dengan keluarga untuk beberapa waktu. Salah satunya Pretty, yang harus berpisah dengan tiga buah hatinya yang masih kanak-kanak.
Pretty mengaku bersyukur dengan adanya kegiatan tersebut. Meski saat kegiatan dia tampak ceria, hatinya merasakan gelisah. Entah emosi apa yang dipendam. Hanya Pretty yang tahu.
“Kami sangat senang dan berterima kasih sudah dihibur dengan nyanyian serti diberikan latihan yang bisa kami jadikan alat untuk bekal kami mengolah emosi. Yang paling penting untuk saat ini kami gembira,” Ujan perempuan berpipi tembem itu.
” Dalam seminggu terakhir, lebih dari 91% perempuan dalam Lapas mengaku sedih dan ingin selalu menangis. Data tersebut, kami peroleh dari assesment awal yang di kumpulkan pada 28 Januari kemarin,” kata Direktur One Earth Integral Education Foundation Suriastini saat itu.
Tidak hanya itu, 76% dari 25 warga binaan merasa tidak bahagia meskipun teman dan keluarganya berusaha membahagiakan. Sebanyak 76% merasa takut dan 66% merasa depresi.
Untuk membangkitkan kembali kepercayaan diri dan keceriaan warga binaan, Suriastini kemudian mengedukasi dan membantu mengatasi tekanan psikologis yang mereka alami.
Sambil memperagakan metode pemberdayaan diri ala Anand Krishna, Suriastini pun mengajak warga tetap tegar, optimistis dan menggairahkan kembali semangat diri mereka.
Diiringi musik lembut ala Kitaro, warga binaan coba mengembangkan kepercayaan diri dan potensi untuk menghadapi tantangan sosial, “Konsentrasi, tutup mata, tarik nafas, lepaskan pelan-pelan, Suriastini memberi aba.
Menurutnya, kaum perempuan merupakan individu yang rentan terhadap kekerasan baik fisik dan psikologis. Keadaan psikologis perempuan di Lapas, terangnya, jauh lebih buruk dibandingkan dengan perempuan yang berada di luar Lapas. Untuk mengurangi kondisi psikis tersebut, pemberdayaan diri mereka pun mutlak dilakukan.
“Kekerasan itu menimbulkan berbagai tekanan psikologis salah satunya kecemasan yang merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang. Hal itu terjadi karena menghadapi ketegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman serta konflik,” ujarnya.
Landasan
Program ini, kata salah seorang Fasiltiator One Earth Integral Education Foundation, Anisa Mira, di dasarkan pada nilai-nilai landasan hidup sukses total dan diberikan secara informal menggunakan metode pakar pemberdayaan diri Anand Krishna. “Ini yang pertama digelar di Lapas ini. Sebelumnya, bersama teman-teman lainnya kami lakukan di Solo,” ujar Mira.
Menurutnya, Program Pemberdayaan diri bagi perempuan yang menjal warga binaan di Lapas juga untuk mendukung Gerakan Satu Miliar Kebangkitan (One Billion Rising) V-Day. Sebuah Gerakan Global yang tujuannya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan yang diperingati setiap 14 Februari.
“Selama Februari, setiap Jumat kami selenggarakan self empowerment dengan materi yang sarat values dan games unik untuk memberi semangat dan inspirasi warga binaan agar tetap fight, survive dan terpenting melakukan transformasi diri guna menghadapi tantangan hidup saat keluar nanti,”ujarnya.
Adapun Kasubid Bumaswat Lapas Wiroguna Suwanjono menyambut baik kegiatan tersebut. Dia berharap kegiatan serupa dapat dilaksanakan bagi Napi laki-laki.
Kalau kegiatan serupa untuk napi laki-laki kami juga berharap dilakukan. Agar mereka juga bisa mengurangi dampak tekanan psikologis selama di Lapas,” jelasnya.
Hingga kini, jumlah napi di Lapas Wirogunan sebanyak 328 orang. Terdiri dari 303 laki-laki dan 25 perempuan. Pihaknya mengaku sudah memperlakukan para napi sesuai prosedur yang ada.
Bahkan untuk menjaga kesehatan merek, pihak Lapas juga menyediakan fasilitas kesehatan. “Untuk pemeriksaan psikologis para napi, kami bekerjasama dengan Respati Jogja,”pungkasnya. (redaksi@harianjogja.com)
Dimuat Harian Jogja 2 Februari 2013